Ceriaku Hilang


Ceriaku hilang bersamaan aroma basah tanah diterjang air hujan. Saat itu aku terpekur melihat senyumku di cermin yang terbelah. Ingin kutambal lagi cermin itu tapi apa dayaku? Cermin itu telah terbelah.

Ceriaku hilang bersama kilat yang singgah sejenak di hujan deras satu petang. Senja pun hilang bersama mendung yang membawa jutaan titik air hujan. Kutengadahkan tangan ke atas, kupinta pada Tuhan untuk mengembalikan ceriaku yang telah hilang.

Sayangnya, hatiku berkata lain. Seolah ia rela ceria itu hilang. Ia tenang dalam kesendiriannya tanpa ada ceria yang menyandingnya. Hatiku nyaman di dunianya sendiri yang mungkin dalam sepi itu dia menemukan jati dirinya.

Oh Tuhan, apakah aku salah merelakan ceriaku hilang dan lebih mengutamakan desir bisikan hati?

Banyak orang di sekitarku, di dunia yang telah Kau cipta ini, mengatakan bahwa aku harus menemukan ceriaku. Aku harus hidup bersamanya agar aku menjadi manusia seutuhnya. Tapi sebegitu sulitnya kah untukku membiarkan hati ini tenang meski dengan begitu aku harus mengorbankan ceria?

Atau mungkin aku harus berkorban, hmm lebih tepatnya hatiku berkorban dengan meninggalkan kenyamanannya dan hidup bersanding dengan ceria?

Lalu kuangkat penaku dari baris rapi sebuah buku. Ingin kuhentikan jeritan hatiku dan membiarkan diri mendekap ceriaku. Inilah duniaku, dunia yang penuh dengan wajah palsu. Maka aku pun harus memasang palsuku untuk membuat diri menjadi seperti selayaknya dunia ciptaanMu ini, dunia yang penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan.

Dengan begitu, kuharap hatiku akan terbiasa pada riuh rendahnya kehidupan. Lirih kuucapkan padanya, "Selamat berjuang kawan! Selamat berjuang di dunia yang penuh dengan kepentingan dan kepalsuan!"

Angga Suprapto
10 Apri 2016

Komentar