Berkeluarga

Satu kata yang begitu indah didengar terlebih saat engkau memasuki usia menyongsong masa itu. Ibarat seseorang yang berpuasa, maka berkeluarga adalah momen berbuka. Bagi seorang pemuda, setelah sekian lama menahan hawa nafsunya, maka hanya dengan berkeluarga inilah kemudian ia mendapatkan muaranya yang halal sehingga hati menjadi lebih tenteram.

Ketenteraman inilah yang kemudian seharusnya diwujudkan bersama dalam koridor kehidupan berkeluarga, sehingga kebahagiaan yang senantiasa dicari itu akan beriring mengikutinya. Ingat, bukan kebahagiaan yang menjadi tujuan utama dari kehidupan berkeluarga, melainkan sebuah ketenteraman yang mewujudlah yang perlu menjadi catatan khususnya bagi kita yang masih berada di awal masa hidup berkeluarga.

Jika sebelum berkeluarga, umumnya yang tergambarkan sebelumnya adalah cerita tentang semua keindahan saat telah memiliki pasangan kehidupan di dunia. Semua hal yang sebelumnya dilakukan sendiri mendadak berubah dapat dilakukan berdua bersama pasangan tercinta. Sebelum memulai pekerjaan ada teh hangat yang terhidang dengan disambut senyum manis memesona, atau saat setelah mencuci pakaian ada tangan kokoh yang siap mengangkat dan turut menjemurkannya bersama. Ah, rasa-rasanya dunia indah milik berdua dengan sejuta imaji yang tercipta atasnya.

Sungguh imaji itu dapat mewujud setelah kita berkeluarga dan sangat layak diwujudkan dalam kehidupan nyata bersama pasangan hidup tercinta. Pastikan bahwa kelak, khusus untuk yang masih membujang, engkau akan mewujudkannya bersama pasangan hidupmu lalu rasakan betapa ketenteraman itu akan menyeruak dan memenuhi segala ruang yang ada di hati. Keindahan-keindahan yang harus senantiasa dihidupkan dalam hati sebelum, sesaat, dan setelah berkeluarga seberapa pun usia pernikahannya.

Namun, kehidupan kita tak akan pernah menjadi dinamis jika kita tak menemukan riak-riak di dalamnya. Gula tak akan terasa manis jika Allah tak mencipta rasa pahit pada pare, kopi, dan lain sebagainya. Kebaikan pun tak akan bermakna jika tak ada keburukan yang dicipta di dunia. Seperti halnya pertemuan juga tak akan terasa berharga jika tidak ada kata perpisahan yang menyertainya di kemudian hari. Sungguh semua hal telah berkelindan menciptakan irama kehidupan yang tak berkesudahan. Begitu pun dalam kehidupan berkeluarga dimana Allah telah menciptakan istri, pasangan, dari kaum kita sendiri agar hati ini cenderung dan merasa tenteram kepadanya (Rum:21).

Proses berkeluarga bersama pasangan hidup itu tak kemudian hanya keindahan yang mengiringinya. Tak selamanya tentang kebahagiaan dan keceriaan yang kita harapkan dijumpa setiap hari, tetapi juga tentang perselisihan, tangis, dan proses penyesuaian diri dalam menerima seutuhnya kehadiran pasangan dalam kehidupan dua insan. Proses penyesuaian diri itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Ibarat hati yang telah membelah sekian lama dan kemudian coba untuk disatukan, maka kesatuan yang terbangun itu memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit.

Pengorbanan itu dapat berupa menerima keadaan pasangan dengan penuh kepahaman, atau bahkan meleburkan kebiasaan diri menjadi kebiasaan bersama yang merupakan hal baru bagi keduanya. Proses inilah yang kemudian dikatakan sebagai pembangunan kesejiwaan antara pasangan suami dan istri. Proses yang memerlukan banyak hal mulai dari pola komunikasi, proses memahami, hingga perselisihan yang tak jarang menguras perhatian diri. Sungguh, jika niat berkeluarga tidak diluruskan untuk Allah semata, niscaya ada banyak hal yang menjadi rapuh di dalamnya.

Dengan demikian, berkeluarga menjadi satu langkah yang seharusnya tak dilakukan dengan sembarangan, tetapi bukan juga sesuatu hal yang harus selalu dikhawatirkan. Selama niat itu lurus dan sedemikian rupa dijaga agar tetap lurus, insyaAllah akan selalu ada bantuan dari-Nya yang tak pernah kita sangka kapan dan bagaimana ia akan tiba. Wahai pemuda, sudah siapkah engkau berkeluarga?

Magetan, 04.05.2018

Komentar