bersama Pak Joni Ariadinata

Aku masih teringat diskusi singkat bersama mas Joni Ariadinata di rumahnya daerah dekat ringroad selatan. Saat itu, ketertarikanku ini bermula dari sebuah cerita mas Joni yang mengatakan tentang proses kreatif beberapa sastrawan. Proses ini dimulai dari belajar dan fokus pada salah satu bidang antara fiksi, non fiksi, maupun puisi. Dalam bidang fiksi pun masih ada konsentrasi yang berbeda antara cerpen, novel, dan puisi itu sendiri. Mas Joni menyarankan agar kita harusnya mematangkan diri pada salah satu bidang itu. Beliau menyampaikan salah satu cerita sukses seorang Taufiq Ismail yang mengawali karirnya di bidang sastra melalui puisi. Pun hal serupa juga dialami oleh seorang Soetardji Kalsoem Bachri dengan beragam puisinya.

Berawal dari kesuksesan salah satu bidang fiksi ini, maka untuk membuka jalan-jalan lain di bidang yang lain semisal cerpen maupun novel akan lebih mudah. Karena pada dasarnya, antara cerpen, novel, dan puisi ini mempunyai kesamaan unsur intrinsik sehingga bisa dikatakan bila seseorang sudah berhasil di salah satu bidang ini, tentunya akan lebih mudah dalam proses pengembangan lainnya.

Nah, kata kuncinya adalah proses. Ya, lebih tepatnya adalah berproses. Sekali lagi yang perlu ditekankan adalah berproses. Lantas, tiba-tiba muncul dalam benakku saat mas Joni serius membahas tentang puisi ini sendiri. Bagaimana caranya membuat puisi itu tidak multi interpretasi? Biar puisi itu bisa kita arahkan sesuai dengan keinginan penulisnya itu sendiri?!

Ah, sekali lagi aku “ditendang” oleh mas Joni Ariadinata. Sesungguhnya puisi itu tidak semudah yang kita bayangkan. Puisi yang bagus membutuhkan proses yang tak sebentar. Sekali lagi mas Joni menekankan tentang proses. Ya, beliau memang sering menekankan proses dalam diri ini yang lebih penting dan utama. Karena hakikatnya, kegiatan yang berkaitan dengan tulis menulis adalah kerja solitair, kerja sendiri, kerja khalwat kita dengan laptop atau pena atau PC atau buku yang ada di hadapan kita.

Dalam hal ini, Mas Joni mengambil sebuah perumpamaan dengan musik atau nada. Puisi itulah yang dibandingkan dengan musik atau nada. Ya, puisi tidak selamanya harus dipahami oleh pembacanya sesuai atau sama persis dengan yang dikehendaki oleh penulisnya. Ibarat sebuah musik atau nada yang berasal dari luar negeri dengan bahasa yang sama sekali berbeda dengan bahasa yang kita gunakan sehari-hari.
Ah, mendengar analogi itu dari seorang mas Joni membuatku teringat dengan momen akhir-akhir ini yang baru saja “menyihirku”. Ya, aku “tersihir” oleh nada semangat dari Seoul, Korea Selatan. Sungguh, aku sama sekali tak memahami makna syair dari nada-nada itu tapi aku menangkap semangat yang terpancar dari alunan nadanya. Ditambah lagi dengan sebuah episode dari film Dream High yang menguatkannya. Yakni saat dua bangsa bertemu dalam sebuah konser musik dengan perbedaan bahasa tapi mereka semua menikmati konser itu dan menyatu dalam nada.

Selanjutnya, mas Joni menambahkan tentang alunan nada dari Al-Quran serta ketinggian nilai puisi dari kitab suci ini. Allah telah menunjukkan ketinggian nilai rasa dan nilai kekuatan sebuah bahasa. Betapa kita tidak mengambil pelajaran dari Al-quran bila kita mengabaikan kekuatan penting dari nilai rasa bahasa itu. Jika kita mau menilik kembali kisah perang islam di masa silam, maka kita akan mengetahui peran penting syair dari para sahabat yang mampu mengobarkan semangat para pejuang. Kita juga akan mengetahui betapa besarnya pengaruh bahasa dan syair yang menyemangati itu! Sungguh, sekali lagi, bahasa, sastra, dan nada mempunyai perannya tersendiri dalam perjalanan panjang perjuangan dakwah ini. Akhirnya, ini akan menjadi alat bagi kita. Kedudukannya tak jauh beda dengan teknologi, yang bisa memberi manfaat tetapi juga bisa menjadi peluang maksiat. Terakhir, semuanya dikembalikan pada pribadi dan niat kita dalam menggunakan semua fasilitas yang ada. Sekarang, kukembalikan padamu!

Komentar