Kawanku, sejahat itukah?! [2]

Akhirnya, setelah sekian hari aku menapaki tanah lapang ini, kutemukan jua ujungnya. Hupfh,… dan hingga hari ini, aku belum menemukan jawabnya. Sebuah pertanyaan besar yang masih menggelayutiku, Adakah kau peduli untuk sekedar memberi? Memberi sebuah ketenangan dalam hati kami… memberi untuk hidup kembali…

“bugh!”, terdengar suara keras pohon rubuh tak jauh dari tempatku berdiri. Segera aku berlari menuju tempat itu. Sesampainya di sana, aku sangat terkejut dengan aktifitas beberapa orang itu. Spontan aku berteriak dengan keras, “hei..! apa yang kalian lakukan?! Hent..”
“Bugh!”, gelap.

*****

Aku dikejar-kejar oleh sesosok tubuh yang aneh. Aku tak mengenalnya, aku juga tak tahu kenapa dia mengejarku. Yang kutahu, saat ini aku harus lari sekencang mungkin untuk menghindari sesosok tubuh itu. Aku menerobos masuk ke dalam semak belukar. Bersembunyi. Hanya itu yang terpikir dalam benakku.

Saat sosok tubuh itu semakin mendekat, aku kembali mengambil langkah seribu, lari secepatnya. Sampai aku tergelincir dan terjatuh ke dalam sebuah arus sungai yang deras. Argh… aku hanyut, aku basah, aku…

"Argh..!", aku terkesiap. tubuhku diguyur dengan seember air dingin.

tubuhku kuyup. Sinar pun mulai menyeruak kesadaranku dan membuyarkan impian aneh itu. Ouch… kepalaku sakit! Ya, kini aku teringat ada orang yang memukulku dari belakang saat aku meneriaki beberapa orang tadi.

“akhirnya bangun juga kau!”, sesosok yang tak asing bagiku. Bahkan sangat familiar!

“roni! Kau…”, aku sangat terkejut. Terdiam dan tak bisa berucap saat kuketahui bahwa tetanggaku sendiri yang selama ini telah merusak rimbun pohon itu.

“kenapa? Bukankah selama ini kamu sudah makmur dengan ladangmu? Ken..”

“diam! Jangan sok suci! Sekarang aku ingin bertanya, adakah kau peduli? Peduli pada orang di sekitarmu? Atau adakah kau peduli untuk sekedar memberi? Memberi ketenangan dalam hidup orang yang ada di sekitarmu? Memberi untuk sekedar memaknai hidup ini?”

aku terdiam. mulutku kelu. dan kali ini aku benar-benar terdiam tanpa kata.

Perkataan itu lebih menohok. Aku tak mampu berucap apa-apa lagi. Aku memang sangat jarang berbagi dengannya, sangat jarang untuk sekedar menyapa dan menanyakan kabar. Aku terlalu sibuk dengan urusan di luar. Aku terlalu sibuk dengan segudang kegiatan di luar rumah. Sangat jarang aku bercengkerama bersama tetanggaku. Aargh…

Benar kiranya yang disampaikan oleh angin itu, dan saat dunia berkata, engkau pun terjebak dalam kelam penuh sesal. Bukan hanya alam yang akan membuatmu menyesal, melainkan dirimu sendirilah yang akan semakin membuatmu menyesal.

Kini, aku melihat dengan jelas kelam yang ada di hadapanku. Dia menggodaku dan membuatku nyaliku semakin ciut. Kelam itu mampu membuatku terlupa pada segalanya. Bahkan dia mampu memalingkan perhatianku dari sumpah serapah roni padaku. Aku sudah tak peduli lagi apa yang dikatakan roni. Kelam ini lebih mengerikan dari apa yang selama ini pernah kujumpai. Bahkan lebih menyakitkan daripada sayatan yang tercipta di sepanjang perjalanan beberapa hari yang lalu. Kelam apa ini? Aneh! Sangat berbeda!

Kini, yang kutahu, aku tak pernah bermanfaat bagi orang yang paling dekat denganku, tetanggaku. Setiap saat kami berpapasan, setiap saat kami bisa melihat keadaann rumah, bahkan setiap saat aku bisa menjadi orang yang paling bermanfaat untuknya. Tapi, selama ini, apa yang kulakukan?! Dan kelam ini semakin keras menghajarku. Pukulan sang kelam lebih menyakitkan daripada pukulan roni saat ini yang mencoba menghilangkan kembali kesadaranku. Tapi aku tetap tak bergeming, terpaku dengan kalimat roni yang membukakan mataku dan membuatku menjumpai sang kelam.

Kawan, sungguh, sesal ini tak berkesudahan. Bahkan sesal ini semakin menjadi-jadi saat aku melihat tubuhku tergeletak lemas tak berdenyut akibat pukulan tetanggaku sendiri. Sesal yang tak berkesudahan. Adakah aku masih berharap?! Dan saat dunia berkata, engkau pun terjebak dalam kelam penuh sesal.

Dunia ini telah berkata. Membawaku pada kelam penuh sesal. Aku tak pernah kuasa untuk membaca segala pertanda. Bahkan pertanda setiap saat yang menggema seolah tak mampu menyadarkanku. Pertanda yang selalu datang menghampiri lima kali dalam sehari. Pertanda yang tak sedikit terhampar. Maka kulalui hari ini dengan sesal yang penuh. Kelam yang tak berkesudahan. Dan kini, kukabarkan ini padamu kawan! Akankah kelak kita akan bertemu dalam kelam yang tak berkesudahan ini?! Akankah engkau menemuiku?! Kelam penuh sesal, kujamin, engkau tak ingin menemuinya!



Ttd,
Dunia kelam tak berkesudahan,
Kawanmu, secuil catatan harian di akhir hayat.

Komentar