PAPER KEBIJAKAN HUTAN

TATA RUANG WILAYAH; SOLUSI DAN SOLUSI PEMECAHANNYA
A. Pengantar
Pada dasarnya, semua makhluk hidup yang ada di dunia membutuhkan beberapa hal yang mendasar untuk hidup dan salah satunya adalah ruang untuk hidup. Hal ini mejadi kebutuhan pokok bagi semua makhluk hidup baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Sedikit berbeda dengan manusia yang membutuhkan sandang dan pangan yang cukup untuk menjalankan kehidupannya. Sejatinya tidak begitu berbeda dengan makhluk hidup yang lain, tetapi manusia mempunyai akal sehingga mampu bertindak kreatif dan inovatif untuk mencukupi segala kebutuhannya tersebut. Bentuknya menjadi sangat beragam dan terkadang susah untuk dikendalikan. Ada yang bekerja sekuat tenaga untuk mendapatkan semua kebutuhannya, tetapi ada pula yang tidak bekerja sama sekali namun menggunakan segala cara kotor untuk mendapatkan kebutuhannya.
Kebutuhan lainnya yang juga menjadi sorotan setiap jenis makhluk hidup adalah kemampuannya untuk melanjutkan keturunan. Hal ini bukan menjadi hal yang sangat pokok untuk makhluk hidup karena tanpa ini pun mereka masih tetap saja mampu untuk hidup. Namun, dorongan naluri dari Penciptanyalah yang mendorong setiap makhluk hidup untuk berusaha mempertahankan keturunannya. Maka dari itu, jumlah dari populasi suatu makhluk hidup mengalami penambahan kuantitas yang cukup signifikan. Jika suatu makhluk hidup tidak mampu melanjutkan keturunannya, maka mereka harus bersiap untuk mengalami kepunahan atau musnahnya jenis mereka dari muka bumi.
Menyadari beberapa hal di atas, saat kuantitas makhluk hidup terus bertambah dan tempat untuk hidup atau habitatnya tidak bertambah, maka akan kita dapatkan sebuah area atau habitat yang dipenuhi oleh populasi makhluk hidup tersebut. Hal inilah yang menjadi sorotan penting dalam perkembangan lingkungan saat ini. Kita ambil contoh saja yang memang paling signifikan pertumbuhan populasinya yakni populasi manusia.
Populasi manusia di bumi, yang tidak bertambah luas areanya, ini senantiasa bertambah dari tahun ke tahun. Meski penambahannya itu terpusat pada beberapa titik tertentu saja, bukan berarti semua manusia yang ada di bumi ini tidak mengalami dampak atau akibatnya. Lalu, muncul pertanyaan yang perlu kita jawab, apa kaitannya antara populasi jumlah manusia dengan lingkungan dan kelestariannya?
Di sanalah permasalah krusial yang perlu kita urai satu persatu. Manusia tumbuh dan berkembang membutuhkan tempat untuk hidup. Permasalahannya adalah tempat untuk hidup ini tidak mengalami penambahan luasan, sedangkan manusia terus saja bertambah dari tahun ke tahun. Akhirnya, yang menjadi ancaman atau tempat “pelarian” itu adalah kawasan hutan yang selama ini kita pertahankan sebagai tempat penghasil oksigen atau paru-paru dunia untuk kemudian dialihfungsikan lahannya menjadi bukan hutan atau kepentingan lain dari manusia yang kurang begitu memperhatikan kelestarian alam.
B. Permasalahan
Bermula dari kondisi di atas, kini mulai muncul beberapa permasalahan yang sering muncul atau bahkan masih menjadi masalah sistemik yang sampai sekarang belum diketahui jalan keluarnya. Diantaranya adalah usulan bupati di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), terkait pengajuan perubahan fungsi lahan hutan yang akan diajukan menjadi lahan penduduk. Selain itu, permasalah konflik yang terjadi antara gajah dengan penduduk sekitar di Taman Nasional Way Kambas. Masih ada lagi permasalahan yang hingga kini juga belum terselesaikan yakni tentang isu tenurial pengusahaan kawasan hutan hingga kasus perbedaan pendapat atas beberapa peraturan yang sudah ada dan dibuat oleh pemerintah. Ditambah lagi dengan peraturan presiden nomer 28 tahun 2011 yang bisa menjadi peluang penghancuran kawasan hutan lindung yang ada di Indonesia.
Permasalah pertama adalah pengajuan usulan pengubahan fungsi lahan hutan oleh dua orang bupati di pulau Flores NTT. Pengajuan itu dilakukan untuk mengubah kawasan presentase hutan yang masih berada di atas batas minimum sesuai undang-undang. Daerah Ende yang luasan hutannya 36 % dari luasan daratannya ingin diubah menjadi 30% dan pengubahan itu untuk tujuan ekonomi. Begitu pun yang terjadi di daerah Ngada yang luasan hutannya mencapai 56% dari luasan daratan ingin diubah menjadi 30% saja, pengubahan dilakukan untuk alih fungsi ke lahan kopi mengingat nilai ekspor kopi tahun 2010 lalu di daerah Ngada ini mencapai 170 ton yang diekspor ke Amerika Serikat. Proses pengajuan sedang dalam proses ke pemerintah pusat, sedangkan perangkat pemerintahan daerah sedang menyiapkan peraturan daerahnya.
Selanjutnya adalah kasus yang terjadi di daerah Taman Nasional Way Kambas sesuai dengan Siaran Pers bernomor : S.236/PHM-1/2011. Dalam siaran pers itu, disebutkan bahwa pola makan gajah mengalami perubahan sehingga banyak terjadi konflik di antara gajah dengan warga di sekitar taman nasional. Muncul pertanyaan cukup menarik yang perlu kita jawab atau bahkan diteliti, kenapa gajah memilih tanaman pertanian daripada tanaman kehutanan?. Padahal keseharian gajah liar itu berada di kawasan hutan. Mungkinkah ada tanaman pertanian di kawasan taman nasional?
Selanjutnya adalah adanya peraturan presiden nomer 28 tahun 2011 yang berisi tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah. Sekali lagi hal ini menjadi sorotan yang cukup menarik karena pemerintah pada dasarnya selalu mengacu pada kepentingan ekonomi dan kurang begitu memperhatikan kelestarian jangka panjang, dalam hal ini adalah fungsi hutan lindung tersebut. Oleh karena itu, sekiranya ada tinjauan lebih mendalam tentang keberadaan peraturan presiden ini mengingat pasal 19 (2) UU No.41 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting, cakupan luas dan berniai strategis dengan persetujuan DPR. Maka dari itu, hendaknya dilakukan peninjauan ulang dan mengambil pelajaran dari beberapa kasus yang sudah ada, misalnya pembuatan AMDAL yang tidak tertib atau tidak disiplin hingga kasus-kasus penambangan yang menyisakan permasalah lingkungan cukup krusial dan mengganggu kehidupan masyarakat sekitarnya.
C. Saran
Dari beberapa kasus yang sudah ada di atas, harusnya ini menjadi perhatian mendalam oleh pemerintah maupun semua elemen masyarakat yang konsen pada isu-isu lingkungan dan kelestariannya. Sudah sangat banyak permasalahan yang muncul dan masih meninggalkan permasalahan yang belum ada solusinya.
Maka dari itu, langkah-langkah yang sekiranya bisa kita lakukan bersama dan bahu membahu dalam penyelesaian masalah ini antara lain;
• Analisa lebih mendalam atas Undang-undang yang sudah ada dan diupayakan tidak terjadi tumpang tindih antara satu permasalahan dengan permasalah lainnya sehingga bisa dihindari kasus tenurial.
• Perubahan undang-undang atau bahkan penyederhanaan, jika dirasa perlu, untuk lebih memperjelas status hukum yang berlaku dan tidak terdapat celah untuk melanggar aturan yang sudah dibuat.
• Kerja sama antar elemen masyarakat dan pemerintah dalam proses pembangunan lingkungan yang lestari dan berkelanjutan.
• Perlu adanya perubahan paradigma berpikir yang menyebutkan bahwa kehutanan atau lingkungan tak bernilai ekonomi tinggi menjadi wawasan ekonomi yang menjunjung tinggi lingkungan dan kelestariannya. Dengan demikian, akan tercipta lingkungan yang menghasilkan nilai ekonomi dan menyejahterakan kehidupan warga sekitarnya.
• Memberikan pendidikan lingkungan dan pendidikan karakter berwawasan kelestarian alam kepada setiap masyarakat sehingga tercipta budaya cinta lingkungan di semua kalangan, termasuk masyarakat adat.
• Pengaturan pola pembangunan rumah atau pemukiman yang lebih “hemat tanah” sehingga masih ada tanah yang berperan sebagai kawasan bercocok tanam dan tidak semakin merambah kawasan hutan untuk fungsi lainnya, perumahan,ladang berpindah, dll.
D. Referensi
http://cetak.kompas.com/read/2011/05/15/03351639/revisi.luas.hutan.bupati.flores
diunduh hari Ahad, 15 Mei 2011 pukul 09.00
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/7303
diunduh hari senin, 20 juni 2011 pukul 11.34
www.dephut.go.id/.../KEBIJAKAN_PENATAAN_RUANG_KEHUTANAN.pdf
diunduh hari Senin, 20 Juni 2011 pukul 13.27
UU No.41 tahun 1999
Perpres no.28 tahun 2011

Komentar