* Afifah Afra
Disampaikan dalam MUNAS II Forum Lingkar Pena
Disampaikan ulang dalam Workshop Kepenulisan di Magetan, Jawa Timur
Disampaikan dalam MUNAS II Forum Lingkar Pena
Disampaikan ulang dalam Workshop Kepenulisan di Magetan, Jawa Timur
Mengapa Harus Menulis?
Orang yang tidak memiliki tujuan hidup serta visi dan missi yang jelas,
ibarat benda-benda luar angkasa seperti asteroid atau planet atau apapun yang
beredar secara rutin, namun tak tahu di mana pusat orbitnya berada. Ia memang
melakukan hal-hal tertentu, yang bisa jadi merupakan kebiasaan yang tangkas
dilakukan. Namun rugi sekali rasanya, jika kemahiran itu ternyata hanya sebuah
aktivitas tanpa tujuan yang jauh dari menggairahkan.
Mengapa kita harus menulis? Ada banyak jawaban.
1.
Saya Ingin Pintar
Ayat Al-Quran yang pertama kali turun adalah “Iqra’ bismirabbika ladzii khalaq.” Makna ayat ini bagi saya tentu
sangat dahsyat. Bayangkan, sebelum kita melakukan segala sesuatu, Islam
menganjurkan kita melakukan aktivitas membaca sebagai first action. Ini tentu saja terkait dengan tradisi ilmiah yang
memang sangat lekat (semestinya) dalam kehidupan seorang Muslim. Begitu kuatnya
penghargaan Islam terhadap ilmu, sampai-sampai amalan—terutama untuk ibadah yang
bersifat khusus—yang tidak dilakukan
berdasarkan ilmu, adalah tertolak!
Ketika Adam diciptakan dari segumpal tanah, dan Allah berkehendak
mengangkatnya sebagai Khalifah di atas bumi, para Malaikat memprotesnya. “Ataj’alu fiihaa manyufsidu fiihaa wayasfiqud
dimaa’ wa nahnu nusabbihu bihamdika
wanuqaddisulak? Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? Padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” (QS
Al-Baqarah: 30). Dan untuk menjawab protes Malaikat, Allah pun mengajari Adam
nama-nama seluruh benda di dunia. Allah mengangkat dan memuliakannya dengan
ilmu, inilah jabatan yang diberikan Allah kepada bapak manusia tersebut,
sehingga membedakannya dengan malaikat.
Pada sebuah atsar diterangkan, “Qayyidul
‘ilma bil kitaabah”, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Karena ilmu
letaknya di memori, sedangkan memori seringkali tersimpan ‘begitu rapi’ di otak
sehingga sulit untuk dikuak saat kita membutuhkannya. Seperti yang kita tahu,
pada otak kita terdapat bagian primitif yang jika kita sedang panik, biasanya
akan menjadi aktif. Maka, tak heran jika ada orang yang ilmunya setinggi
gunung, namun menjadi terlihat begitu tolol ketika sedang panik.
Tak ayal lagi, ilmu butuh diikat, agar tidak ‘berlarian’ ke sana kemari.
Dan cara mengikat ilmu yang paling tepat adalah dengan menuliskannya. Itulah,
mengapa dalam ayat tersebut, kita disuruh untuk melakukan iqra’.
2.
Berdakwah Lewat Pena
Allah berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah,” (QS. Fushshilat: 33). Jika kita terbiasa menuangkan pendapat kita dalam bahasa tulis, maka
pemikiran-pemikiran yang kita miliki, akan tersebar dengan lebih massal. Jika
pemikiran kita adalah sebuah usaha ber-amar
ma’ruf nahy munkar, maka target sasaran kita juga akan lebih meluas lagi,
tanpa kita harus bersusah payah menemui mereka.
3.
Berpikir Lebih Sistematis
Apa yang membuat anda tidak bisa memahami jalan pemikiran seseorang yang
tengah berbicara di depan anda? Bisa jadi, karena seseorang tersebut
mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan meloncat-loncat. Apalagi jika ia belum
merancang apa-apa yang harus ia ucapkan sebelumnya. Ia bisa bicara ngayawara, ngelantur kesana kemari
sampai-sampai apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan, menjadi rancu. Oleh
karenanya, sebuah gagasan yang sebenarnya briliyan, bisa jadi akan dianggap
sepintas lalu oleh orang lain.
Hal tersebut, akan bisa lebih diantisipasi jika kita terbiasa dengan bahasa
tulis. Ketika kita menulis, kita memiliki kesempatan untuk mengedit
tulisan-tulisan kita kembali. Kita bisa menata jalan pikiran yang berantakan
menjadi lebih rapi, bisa membuang bagian-bagian yang tidak terlalu penting,
sehingga kita bisa mendapatkan hubungan sebab akibat yang logis, yang
sistematis, tanpa direcoki terlalu banyak bumbu yang memusingkan.
4.
Memperoleh Kepuasan Batin
Kepuasan batin akan kita peroleh jika kita bisa mengerjakan sesuatu yang
menjadi hobi kita. Jika hobi kita adalah menulis, di saat kita mendapatkan
sebuah ide yang kita anggap menarik, biasanya yang muncul dalam benak kita
adalah keinginan yang meledak-ledak untuk menuangkannya. Persis seperti
seseorang yang sudah tak tahan ingin ke WC untuk buang air besar. Dan betapa
lega ketika kita ternyata berhasil menyemburkan ide-ide itu dalam bauran
kata-kata yang termanage dengan baik.
Bukankah kenikmatan semacam itu, mahal harganya?
5.
Mengendalikan Emosi
Para ahli ilmu jiwa menyarankan agar kita sering-sering menulis untuk
melatih kecerdasan emosi. Jangan abaikan katarsis, karena seringkali berbuntut
destruktif, alias kerusakan-kerusakan yang kita ciptakan tanpa pikir panjang.
Soalnya, jika kita sedang marah, yang dominan pada otak kita adalah bagian
primitif yang sama dengan otak reptilia.
6.
Ekspresi Empati dan Pembelaan
Banyak penulis memiliki sejarah hidup yang gilang gemilang karena semangat
kepahlawanan yang mereka miliki. Sayyid Qutb misalnya, ia ditahan oleh rezim
otoriter dan hidupnya berakhir di tiang gantungan. Pena yang ia goreskan di
lembaran-lembaran kertas, ternyata lebih tajam dari pedang dalam menegakkan
yang benar.
7.
Saya Ingin Awet Muda
Ada seorang penulis mengatakan bahwa kebiasaan menulis akan membuat kita
awet muda. Menulis membuat kita tak perlu bersusah payah melakukan operasi
plastik guna menghilangkan kerutan-kerutan ketuaan. Jangan khawatir bahwa
‘kelakuan kita’ itu akan membangkrutkan para spesialis bedah plastik, santai
saja! Mereka sudah cukup kaya dengan banyaknya pasien, karena pilihan menjadi
penulis itu terkadang begitu elitis, tidak semua orang bersedia.
Anda boleh percaya boleh tidak, tetapi saya sendiri merasa hidup saya lebih
hidup karena menulis. Umur saya sudah hampir memasuki 30, tetapi masih ada saja
orang yang mengatakan, saya pantas jadi mahasiswi, atau malah siswi SMU.
Ada-ada saja!
8.
Saya Ingin Banyak Teman
Dengan menulis—apalagi ketika kita bergabung dengan komunitas para penulis,
biasanya akan membukakan pintu pergaulan seluas-luasnya. Ketika kita menulis,
karya kita tersebar, pasti akan ada feedback
dari pembaca. Melalui surat-surat, mereka akan mengomentari karya kita.
Jika kita telaten membalas surat-surat mereka, maka sahabat pena kita akan
bertambah. Tak ada kebahagiaan yang lebih besar selain memiliki banyak sahabat
di muka bumi ini, kan? Kecuali jika anda adalah orang yang lebih sering
menghindarkan diri dari hingar-bingar dan mengurung diri dalam kesunyian yang
beku.
9.
Saya Ingin Mendapatkan Penghasilan
Jujur saja, sewaktu saya pertama kali menulis, tak terbetik dalam benak
saya bahwa saya akan mendapatkan keuntungan materi. Saya menulis karena
kebutuhan. Bahkan saya tak pernah membayangkan, bahwa dengan menulis, kita akan
bisa lebih kaya dari Ratu Elizabeth, seperti JK Rowling.
Maka, sewaktu saya mendapat honor dari tulisan pertama, girangnya bukan
alang kepalang. Saya merasa sangat kaya, karena bisa mentraktir banyak orang,
bisa membelikan baju baru buat ibu, atau membeli buku-buku yang saya senangi
tanpa harus merengek kepada orang tua. Namun, kegirangan itu tak lantas membuat
saya bercita-cita menjadi penulis. Madesu! Masa depan suram!
Belakangan, saya baru mengerti, bahwa jika kita menulis, dan tulisan itu
diterbitkan, maka kita akan mendapat royalti, yang jumlahnya bagi saya... subhanallah! Kata Mas Gola Gong,
seandainya kita bisa menulis 5 buku saja dalam setahun, maka kita akan bisa
hidup ‘layak’, meskipun belum sampai pada beli mobil.
Jadi, menulis ternyata bisa dijadikan sebagai profesi yang cukup
menjanjikan. Apalagi jika tulisan kita ternyata digemari orang. Kita tidak akan
repot-repot menulis surat lamaran, apalagi antre membuat SKCK atau kartu kuning
seperti saat hendak mendaftar CPNS, karena justru penerbit yang akan melamar
kita. Konon, jumlah penulis yang banyak penggemar itu lebih sedikit dibanding
jumlah penerbit, sehingga penulis macam itu ibarat ‘perawan cantik’ yang
menjadi incaran banyak bujangan. Jadi, pintar-pintar saja mencari bujangan yang
berkualitas untuk kita terima lamarannya.
Tetapi, na’udzubillah! Jangan
sampai iming-iming penghasilan membuat kita lantas melacurkan harga diri. Ingat,
tujuan kita menulis yang pertama kali adalah, dakwah bil kalam, mengajak orang kepada kebaikan dan mencegah kepada
kemungkaran melalui perantaraan kalam.
WARMING UP ALA PENULIS!
Ada banyak kebiasaan yang cukup ‘memanaskan’ aliran darah para penulis. Tak
harus semua kita miliki, meskipun jika memilikinya, kita benar-benar akan
sangat terbantu. Sebagaimana seorang atlet sepak bola yang punya kebiasaan lari
pagi, tentu akan memiliki tingkat kebugaran yang sangat ia butuhkan saat
menggiring bola menuju gawang lawan.
A.
Melatih Kreativitas
Ketika saya belajar ilmu Biologi saat SMP, saya terkesan dengan pembuatan
tanaman tomtang, akronim dari tomat-kentang. Prinsip dari tanaman tersebut
adalah bahwa tomat dan kentang, termasuk dalam satu familia, yaitu Solanaceae. Dua batang tanaman tersebut
disambung, kentang untuk bagian bawah dan tomat atasnya. Hasilnya...
terciptalah sebuah tanaman yang mempunyai hasil ganda. Akarnya menghasilkan
umbi kentang, batangnya menghasilkan buah tomat. Sebuah perpaduan yang cerdas.
Baru-baru ini, sebuah produsen diapers
mengeluarkan produk baru, yaitu diapers yang
berbentuk seperti celana. Selain tidak tembus cairan pipis, bayi juga lebih
nyaman, karena seperti mengenakan celana.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam inovasi-inovasi di atas disebut
sebagai bisosiasi. Ini adalah bagian yang cukup penting dari proses
kreativitas.
Sebagai seorang penulis, anda harus sering-sering melakukan inovasi.
Inovasi itulah yang membuat seorang penulis digemari dan dilirik oleh berbagai
kalangan. Anda harus melakukan hal-hal yang dipikirkan oleh orang lain saja
tidak. Jika anda stagnan, tidak mau berinovasi, tunggu saja saat-saat
‘kehancuran’ anda di bidang ini, bahkan juga bidang-bidang yang lain.
B.
Banyak Membaca
Menurut Ismail Marahaimin, membaca bagi seorang penulis, ibarat tenaga
dalam bagi seorang pendekar. Banyak membaca akan membuat kita menjadi seorang well rounded man, seseorang yang serba
tahu, meski serba sedikit, namun memiliki spesialisasi tersendiri yang ia
tekuni. Dan ini mutlak dibutuhkan oleh seorang penulis. Menulis ada proses
memberi, atau menuangkan. Apa yang akan kita tuang jika kita tak memiliki
apa-apa yang bisa kita tuang?
C.
Rajin Menulis Diary
Bagi saya, menulis diary memiliki banyak manfaat. Pertama, kita akan
dibiasakan membahasakan perasaan kita, ide-ide kita dalam bahasa tertulis—yang
mana hal ini sangat dibutuhkan oleh seorang penulis profesional. Dengan sering
berolah kata, reflek kita akan terbangun. Sense
of art kita akan terbentuk, sehingga kita bisa membedakan apakah kalimat
yang kita tulis terasa manis didengar, ataukah masih membutuhkan polesan.
Kedua, masih terkait dengan masalah tulis menulis, diksi kita akan semakin
baik karena perbendarahaan kosa kata kita yang semakin banyak. Secara mudah,
kita bisa gambarkan, ketika kita biasa berolah kata dan ternyata kata-kata yang
kita pakai ternyata hanya itu-itu saja, tentu kita akan bosan, bukan? Lantas,
kita akan termotivasi untuk membuka-buka kamus, guna mendapatkan perbendaharaan
kata-kata baru, yang membuat tulisan kita menjadi lebih segar.
Ketiga, menulis diary akan memperlihatkan sebuah proses pendewasaan. Kita
akan mampu melihat diri kita dari masa ke masa, dan hal tersebut akan sangat
berpengaruh terhadap sikap kita terhadap orang lain. Salah satunya, kita akan
lebih maklum jika melihat seseorang melakukan kesalahan, kita juga dulu pernah
begitu. Namun kita juga akan tetap berhusnudzon, bahwa orang tersebut akan
kembali ke ‘jalan yang benar’. Selanjutnya menulis diary akan membuat kita
memiliki emosi yang lebih terkendali. Kita akan lebih sabar, lebih percaya diri
dan lebih teratur hidupnya.
Keempat, menulis diary adalah sebuah kerja jurnalistik. Kita sedang
mencatat apa-apa yang kita alami, dan inilah sumber ide yang luar biasa.
Menurut Josip Novakovich, pengalaman adalah sumber cerita fiksi yang terbaik.
Dengan terbiasa mendokumentasikan pengalaman, berarti kita sedang menyimpan
sebuah sumber ide yang terbaik.
D.
Berkorespondensi
Berkorespondensi adalah salah satu kegemaran saya sewaktu kecil. Saya biasa
menulis surat hingga berlembar-lembar kepada teman-teman saya—yang kebanyakan
jauh lebih tua dibanding saya. Saya sering menulis surat kepada para mahasiswa
yang sedang melakukan aktivitas KKN di desa saya, juga kepada kakak-kakak yang
bekerja di kota yang jauh letaknya dari kampung. Dalam surat itu, saya
menceritakan apa-apa yang saya alami, apa-apa yang saya rasakan dan apa-apa
yang saya inginkan. Ketika surat saya dibalas, saya merasa kegembiraan yang
sangat. Apalagi jika balasannya pun panjang, sepanjang surat yang saya
kirimkan.
E.
Senang Berdiskusi
Senang berdiskusi akan membantu kita melihat dari berbagai sudut pandang
pemikiran alias tidak berkutat dalam subyektivitas yang pekat. Seorang penulis
menurut saya harus memiliki hal tersebut, karena subyektivitas sering membuat
kita tidak berempati kepada orang lain, padahal banyak penulis besar yang
karyanya meledak karena tulisannya merupakan refleksi empati dia terhadap
seseorang atau kepada suatu keadaan. Sebagai contoh adalah buku-buku Torey
Hayden yang hampir semua merupakan curahan empati dia kepada anak-anak
didiknya.
Mungkin bagi orang yang pendiam, membangun kebiasaan semacam ini agak
sulit. Namun yang perlu dipahami, senang berdiskusi tidak mengharuskan kita
banyak bicara. Cukup dengan mendengarkan pendapat orang, kita akan mendapatkan
banyak hal yang sangat berharga. Mendiskusikan karya-karya yang kita tulis,
atau karya-karya orang lain sebagai pembanding, juga akan membuat kita semakin
berkualitas. Jadi, silahkan anda mencari komunitas diskusi yang bisa mendukung
karir anda dalam kepenulisan. Jika kebetulan di kota anda terdapat komunitas
tersebut (sebagai contoh adalah Forum Lingkar Pena), secepatnyalah anda
bergabung di dalamnya. Jika tidak ada, anda bisa mencari di dunia cyber. Cukup banyak situs yang dikhususkan
untuk para penulis dan menyediakan ruang untuk berdiskusi.
F.
Melihat Lebih Dekat
Salah satu keunikan yang dimiliki oleh seorang penulis adalah karena ia
bisa menyingkapkan sesuatu yang sebelumnya samar-samar atau kasat mata. Sesuatu
yang sebelumnya belum terpikirkan oleh kebanyakan orang, namun berhasil mampir
dalam benak kita. Keunikan itu akan terbangun jika kita menjadi orang yang
senang ‘melihat lebih dekat.’
Pada prinsipnya, sebagai seorang manusia, kita lahir dengan dilengkapi alat
indera. Alat indera itu merupakan sebuah kamera alami dengan kapasitas
bermega-mega pixel. Kita harus
optimalkan kamera alami itu dengan baik, agar bisa terekam berbagai kejadian di
muka bumi, yang merupakan sumber data yang paling otentik.
G.
Akrab dengan Bahasa
Menulis adalah salah satu bentuk kecerdasan linguistik (meskipun ada juga
ulasan yang menguraikan bahwa menulis ternyata melibatkan semua tipe kecerdasan
yang dimiliki oleh manusia). Sangat aneh jika para penulis tidak akrab dengan
bahasa. Menurut Gorys Keraf, “Semakin
banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau gagasan yang
dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya.”
H. Enjoy This Life!
Seorang penulis, semestinya menjadi subyek atas suasana. Maksudnya, dia
harus bisa membangun sebuah suasana menjadi seperti yang ia inginkan. Mencoba
menikmati segala sesuatu, meskipun sesuatu itu adalah kemacetan, suasana
hingar-bingar, kesakitan dan hal-hal negatif lainnya, akan membuat hal-hal yang
unik dari sesuatu tersebut terekam dalam kamera alami kita. Oleh karenanya, bete, lesu, letih, loyo, mestinya harus
segera dienyahkan dari kepribadian seorang penulis. Ia harus senantiasa
bersemangat, apapun keadaannya.
Tetapi, jangan khawatir. Penulis juga manusia, punya rasa punya hati...
jadi sah-sah saja jika anda terjebak pada suasana bad mood. Asal jangan lama-lama!
Komentar