Praktek Getas (lagi)


Hari ke-7 praktikum pengelolaan hutan lestari di Getas, Kabupaten Blora. Perasaan beragam sudah bercampur banyak di waktu sepekan ini. Beberapa hari awal terlalu banyak laporan yang harus dikerjakan hingga waktu untuk tidurlah yang menjadi korban untuk dikurarngi porsinya. Tak ayal menemukan teman-teman, bahkan saya sendiri, terkantuk-kantuk saat menerima materi di dalam ruangan atau klasikal.
Beberapa sorotan yang perlu dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya adalah persiapan fisik dan mental. Dalam hal fisik, banyak di antara kita yang telah terserang flu dan batuk, termasuk saya sendiri. Entahlah, mungkin ini karena menurunnya daya tahan tubuh karena terlalu capek. Dalam hal mental, kita harus menjaga semangat agar tetap menyala. Tak tertekan dengan beragam tugas yang harus dikerjakan. Cukup dibawa enjoy dengan segala keriuhan dan acuh atas segala macam keluhan orang di sekitar kita.
Konflik sejatinya senantiasa terjadi di antara peserta satu dengan lainnya. konflik dengan diri sendiri, konflik dengan co.ass “tercinta”. Bicara tentang co.ass, saya menyadari sesuatu tentang peran dan posisi co.ass atas praktikannya. Nih ceritanya Angga sedang merenung dengan statusnya yang sempat menjadi co.ass.
Membaur, itu poin pertama yang didapatkan dari proses beberapa hari di Getas ini. Co.ass selama beberapa hari ini jarang membaur dengan para praktikannya. Sempat konflik itu mencuat manakala co.ass tak mengerti betapa praktikannya membutuhkan kehadiran co.ass-nya, sedangkan yang ada saat itu hanya tuntutan dan “dendam” kepada praktikan. Syukurlah, di hari ke-7 ini, co.ass tampak “melunak” dan mulai menyadari keberadaannya.
Mendidik, bukan membalas dendam atau sekedar mengikuti sistem yang selama ini ada. Entahlah, kalimat itu mungkin mewakili beberapa hari di Getas ini. Sekilas co.ass sempat menerapkan “ini sistem yang sudah ada” tentang pembuatan laporan praktikum. Benar-benar terkesan memaksakan dan membudayakan tradisi “Soeharto”. Kembali ke topik tentang sebuah nilai yang di dapat, intinya adalah sebaiknya kita senantiasa memperbarui metode, pendekatan, dan segala macam praktek kita dalam hal praktek ilmu pengetahuan duniawi.
Konsekuen. Kata ini mirip dengan kata istiqomah yang beberapa kali kudengar di pengajian. Namun demikian, bukan berarti kedua kata ini sama. Kenapa saya mengatakan konsekuen? Jika dalam istilah lainnya, kita harus melakukan apa yang telah kita ucapkan dan bukan mengatakan (kasarnya: menyuruh) apa yang kita sendiri tidak melakukannya

Getas, 9 Juli 2012

Komentar