Mendidik Anak

“Bagi menjadi tiga masa pertumbuhan untuk anakmu. Tujuh tahun pertama, perlakukan ia bak seorang raja. Tujuh tahun kedua, perlakukan ia bak seorang tawanan perang. Tujuh tahun ketiga, perlakukan ia bak seorang sahabat karib”
Begitulah satu pemahaman yang kudapatkan ketika membaca satu tulisan dari sebuah majalah bernama “Bela Rakyat”. Kutipan kalimat itu berasal dari satu perkataan seorang ustadz yang telah berhasil mendidik anaknya menjadi hafidz dan hafidzah. Satu buku pun terinspirasi olehnya. Sebuah buku berjudul 10 Anak Bintang Al-quran.
Awalnya ketika membaca satu kalimat itu saya masih membutuhkan pengulangan dan pencernaan kalimat yang tak sebentar. Kupikir kembali dan kini kuselami sendiri dengan indahnya makna dari kalimat itu. Entahlah, mungkin kalimat itu diambil dari satu hadits atau bisa jadi memang sudah kristalisasi dari ilmu pengetahuan sebuah keluarga ustadz dan ustadzah. Maka kubiarkan keindahan makna itu mengalir bersama pemahaman dan mengalirnya masa dan kehidupan seorang anak manusia.
Muncul satu pertanyaan setelah berulang-ulang menyampaikan kalimat itu di beberapa forum yang kuhadiri. Mungkinkah selama tujuh tahun itu benar-benar harus diperlakukan sesuai tahapannya? Akhirnya kubandingkan sendiri dengan dinamika yang terjadi dalam perkembangan keponakan berikut proses pendidikannya serta psikologisnya. Kudapatkan satu pemahaman tambahan bahwa hal ini berlaku surut.
Sebagai contohnya, seorang anak usia 4 tahun perlakuan “raja”nya tentu berbeda dengan seorang anak berusia 6 tahun. Dalam hal ini, perlu ada masa transisi pendidikan dan perlakuan orang tua. Ingat, anak kita bukanlah seorang robot yang bisa dengan mudah menerima pergantian sikap dari orang tuanya. Maka dari itu, berlaku hukum surut seiring bertambahnya usia. Hukum surut ini berlaku pada dua tahap pertama kehidupan seorang anak hingga ia berusia sekitar 14 tahun.
Bagaimana dengan tahap ketiga atau pada usia lebih dari 14 tahun? Ingat, ada masa transisi seiring pertambahan usianya. Maka dari itu, perlakuan “sahabat karib” itu kadarnya berbeda antara anak yang berusia 15 tahun dengan anak yang berusia 19 tahun. Saya mengalami hal unik ini saat melihat seorang sepupu saya yang berusia 17 tahun tapi masih mengalami pengekangan aturan dari orang tuanya yang cukup ketat. Bisa jadi, hal ini masih berlaku karena sebelumnya sang orang tua belum begitu menerapkan tahap kedua dengan baik.
Dengan demikian, idealnya saat tahap pertama dan tahap kedua dilalui dengan baik dan disiplin, maka akan terbentuk sikap seorang anak yang memang siap dan layak dijadikan “sahabat” di usia 15 tahun ke atas. Secara ilmu psikologi perkembangan anaknya, saya sama sekali tidak mengetahuinya. Hanya saja, saya mengetahui bahwa Rasulullah SAW memberikan contoh melalui haditsnya untuk menghukum anak usia 7 tahun manakala ia masih enggan menjalankan sholat. Tentunya, itu bisa dilakukan dengan syarat orang tua telah mengajarkan kewajiban sholat ini sejak dini jauh sebelum usianya mencapai 7 tahun.
Saya juga menyadari bahwa ternyata memang di tahap kedua inilah seorang anak sudah selayaknya untuk diajarkan mengenai hukum yang harus ditaatinya dalam kehidupan. Hal ini boleh, hal ini tidak boleh dan beberapa hal lainnya yang berkaitan tentang hak dan kewajiban sebagai seorang anak, seorang kakak atau adik, serta seorang manusia ciptaan Allah SWT.
Dengan menjalankan tahap pertama dan tahap kedua dengan baik, maka idealnya adalah seorang anak siap untuk masuk ke tahap ketiga. Hukum surut pun tidak harus diterapkan karena secara otomatis seorang anak akan siap secara fisik dan mental untuk masuk ke tahapan selanjutnya seiring dan sesuai usianya tersebut.
Lalu, muncul pertanyaan dalam diri, sudah sejauh mana saya menyiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang baik dalam menjalani tiap tahap kehidupan anak itu?

Komentar

DAYEUH mengatakan…
Jadi inget obrolan semalam di tadarusan buku Di Bawah Bendera Revolusi di Museum Konperensi Asia-Afrika Bandung. Ngomongin Bung Karno otomatis ngomongin soal kepemimpinan. Yang menarik adalah ketika moderatornya mengaitkan antara krisis kepemimpinan negara dengan kepemimpinan domestik--pemimpin rumah. Menurutnya, jangankan protes ke pemimpin negara, pemimpin rumah pun belum bisa memimpin dengan baik, melihat banyak anak muda sekarang yang perilakunya kurang etis dan semacamnya. Padahal negara terdiri dari individu-individu, bagaimana negara bisa baik kalau individunya saja tidak mencerminkan? (ini simpulan dari saya deng). Salut sama Mas Angga yang sudah memerhatikan pendidikan anak dari sekarang, semoga bisa menjadi pemimpin rumah yang baik :)
Angga Suprapto mengatakan…
oh, Bandung tampaknya rame dengan diskusinya ya.. Sebenarnya di sini kurasa juga ada, hanya saya saja yang nggak aktif mencari mungkin ya? hohoho

lagi sibuk dengan skripsi. #alasan

amiin. saling mendoakan.