Dinuk, kupu-kupu pantai


 Jika ulat telah mampu bermetamorfosa dengan sempurna, maka ia telah mencapai bentuknya yang sempurna, kupu-kupu yang indah nan menawan. Aku sering tertegun dengan perubahan yang terjadi pada kupu-kupu itu. Aku ingin menjadi seperti kupu-kupu itu, tegasku dalam hati.
Kalimat yang terpatri itu membuatku senantiasa bersemangat menyambut detik-detik menuju ujian nasional. Aku bingung apakah harus bahagia atau bersedih. Hampir 3 tahun kulalui masa SMPku bersama teman-teman yang tak sedikit. Memang tak dipungkiri lagi bahwa sebentar lagi aku memasuki masa SMA. Tapi, benarkah aku bisa kembali bersekolah? Entahlah! Aku tak ingin dirundung dengan bayangan yang belum pasti. Biarkan waktu yang menjawabnya.
“Nuk, makannya segera dihabiskan! Ora ndelok tipi wae!” teguran Emak membuyarkan kecamuk yang melintas di pikiran saat melihat keindahan kupu-kupu di siaran TV. “nggih Mak.” Segera saja kulahap habis menu spesial malam ini, nasi putih dan ikan asin tak lupa dengan sambal bawang! Bersyukur rasanya bisa kembali makan dengan sambal bawang dan ikan asin. Terakhir makan ini seingatku sudah hampir sebulan yang lalu.
*****
“Dinuk!!” sesosok tak asing memanggilku lantang. Ia selalu tampak modis dengan pakaian ketat untuk seukuran anak kelas 3 SMP. Terlihat jelas tebalnya bedak yang ia gunakan waktu itu. Aku hanya bisa tersenyum kecut melihat tingkahnya yang genit. Entahlah, aku merasakan hal yang kurang baik setiap melihat anak gadis bertingkah seperti itu.
“Ada apa Din? Mbok ndak usah teriak kalo manggil. Aku masih denger kok..!” kucubit pipinya yang tembem dan berlesung pipit saat ia tersenyum itu. Rambutnya yang tergerai lurus sebahu kuacak-acak agar ia tak makin genit saat mengibaskannya.
“Adduuuh.. Dinuk! Kamu ini ya? Kan jadi berantakan gini rambutku! Aah...!”
“Ada apa to? Kok pake teriak segala?!”
“Aku punya kabar gembira Nuk! Kata temennya Masku, aku bisa lanjut sekolah ke SMA! Bagus kan?”
“Kok bisa? Syukurlah, berarti kamu punya uang yang cukup untuk lanjut sekolah ya?”
“Nggak juga, kata temen Masku itu, aku harus menjadi kupu-kupu di malam hari biar mendapat uang banyak. Hanya menjadi kupu-kupu, Nuk! Itu pun juga nggak semalam suntuk kok Nuk. Hanya sebentar saja lalu boleh tidur. Setelah itu, semua biaya sekolah bakal ditanggung sama temen Masku itu!”
“Ehmm... tapi Din...”
“Sudahlah, nanti kukabari lagi ya, Dina yang cantik ini mau di make over sama temen Masku itu! Daa Nuk!” seketika itu Dina melambaikan tangannya meninggalkanku sendiri dengan pikiran yang terlintas di benak. Menjadi kupu-kupu di malam hari? Akankah aku bisa turut serta?! Menjadi kupu-kupu, berarti harus bermetamorfosa menjadi sosok kupu-kupu yang cantik?!
“Awas ya Din! Pokoknya aku harus kamu ajak! Biar aku juga bisa melanjutkan SMA!!” teriakku spontan melupakan pikiran yang terlintas. Masuk ke jenjang SMA tanpa mengeluarkan biaya?! Siapa pula yang tak menginginkannya?! Aku ingin bebas dari kemiskinan ini! Aku harus menjadi orang yang berpendidikan!
*****
Permukaan daun berkilau tegas membiaskan terik matahari siang itu, angin kering yang berhembus menambah gerah sepetak ruang di gubuk kecil berdinding bambu ini. Yaah, beginilah memang suasana siang hari di dataran rendah yang dekat dengan pantai. Aku pun tak pernah meminta dilahirkan dalam keadaan seperti ini. Sudahlah, tak ada gunanya meratapi nasib. Lebih baik mensyukurinya hingga semua jadi lebih indah. Bukan begitu?
Menjadi seorang anak pesisir pantai juga sangat menyenangkan. Bayangkan, setiap pagi dan sore engkau bisa menikmati indahnya mentari bersinar dan meredup. Mentari yang bermain dengan jingga yang menyeruak dan menenggelamkannya. Sangat indah! Lebih-lebih saat engkau bisa menikmatinya bersama sahabat terkasihmu, sama seperti yang selalu kunikmati bersama Dina.
“Nuk, bangun! Ayo ikut aku!” tiba – tiba Dina datang dan menarikku seketika. Aku terkesiap dan tergopoh-gopoh ditarik Dina.
“Mau kemana?”
“Sudah, jangan banyak tanya! Mau sekolah lagi kan?!”
 [to be continued]]

Komentar