Beberapa bulan sebelum aku
menuntaskan masa sekolah menengahku di Magetan, aku telah membaca beberapa buku
serial remaja karangan Izzatul Jannah. Ada yang menarik di belakangnya, satu
logo bertuliskan Forum Lingkar Pena. Aku penasaran dengan logo tersebut hingga
akhirnya kudapatkan satu kontak ketua FLP Solo waktu itu, mas Furqon. Senang rasanya
bisa mendapatkan motivasi untuk terus menulis. Bahkan saat itu rasa-rasanya aku
siap untuk menempuh jarak dari Magetan ke Solo. Sayangnya nasehat beliau waktu
itu memintaku untuk tetap menulis hingga nanti masuk masa kuliah dan berkesempatan
bergabung dengan FLP di lokasi kuliahku.
Delapan tahun, masa yang
tak begitu sebentar sejatinya. Namun, saat berbicara delapan tahun di kota ini,
rasanya masih saja tak rela meninggalkannya. Ya, Yogyakarta yang baru saja
merayakan ulang tahunnya, yang selalu berhasil menyimpan memori di tiap sudut
kotanya. Di tempat inilah aku bergabung bersama barisan Forum Lingkar Pena. Belajar
banyak hal bersama orang-orang yang sangat beragam, lalu menghabiskan sekian
banyak senja di tempat pamungkasnya, Balairung UGM sayap selatan.
Aku bingung saat ditanya
akan menuliskan apa tentang FLP. Kenanganku bersamanya terlalu banyak, terlalu
banyak pula yang berkesan di dalam hati. Jika tetap dipaksa untuk menuliskan
mana kenangan yang paling berkesan dan berbekas di dalam hati, maka tetap saja
aku tak bisa menuliskannya karena satu kisah ini tidak bisa mengalahkan satu
kisah yang lain.
Mulai dari kisah recruitment anggota baru, rapat hingga
tengah malam penentuan calon anggota baru, kegiatan forum rutin selasa-kamis, perjalanan
panjang menuju Munas di Bali, pembuatan video musikalisasi puisi, atau lembur
yang harus dijalani saat Munas di Solo, atau persiapan pementasan di Taman
Budaya Yogyakarta? Ah, semua terlalu indah dan berkesan. Ya, tetap saja
akhirnya ada kisah yang menurutku perlu kutuliskan tentang FLP.
Kisah ini tentang satu
masa saat aktivitasku di FLP mulai berkurang. Aku lebih disibukkan dengan
penelitian, dengan tugas akhir kuliah, atau kesibukan-kesibukan lainnya yang
benar-benar tidak bersentuhan dengan forum rutin FLP di sayap selatan Balairung
UGM.
Benar kiranya jika orang
yang terlanjur cinta, maka akan ada rasa rindu membuncah saat lama tak bersua. Konon
sehari rasanya jadi sewindu, entahlah. Ini pula yang kurasakan di suatu senja,
saat lelah datang menyapa dan penat dengan aktivitas yang tengah dilakukan. Jika
diibaratkan dengan rambut, sudah tampaklah mukaku seperti rambut kusut
dimana-mana. Aku suntuk.
Saat itu tidak begitu
cerah, hujan baru saja berakhir dan masih terlihat genangan air di kanan dan
kiri. Kaki melangkah di sayap selatan Balairung UGM, selepas bejibaku dari
perpustakaan yang memang persis di selatan Balairung. Tampak kursi gazebo dan
payung biru yang basah di pelataran sayap selatan Balairung. Rasa-rasanya
suasana mendadak jadi sangat melankolis bagiku. Memori-memori bersama FLP
melintas begitu saja di kepala hingga akhirnya kuputuskan untuk duduk di
gazebo.
Aku sedang dilanda rindu. Rindu
dengan kalian semua yang telah menghabiskan senja bersama FLP di sini. Kubuka buku
harianku dan bergeraklah penaku di atasnya, memutar kembali memori sembari
mendendangkan kata-kata dalam barisan kalimat. Ah, ada emosi yang mengalir
bersama dengan gerakan penaku. Semangat yang tertitipkan pada memori saat itu
seolah kembali menghampiriku. Muka kusut, suasana jenuh, hingga kepenatan
lainnya seolah sirna seiring ketenangan yang menyapa di senja itu.
Senja yang tak jingga tapi
ia begitu syahdu. Bahkan dalam suasana senja yang seperti ini pun ada memori
yang kita habiskan bersama. Saat hujan datang menyapa dan kita
berbondong-bondong mencari tempat berteduh untuk kembali berdiskusi sekadarnya.
Meski hanya beberapa anggota saja yang menampakkan batang hidungnya, itu tak
menjadi halangan bagi kita bertukar cerita. Nah, tampak jelas kan betapa seluk
beluk Yogyakarta berhasil menyimpan semua memori kita.
Meski aku menyadari
kemampuan menulisku tak begitu berarti, tapi FLP tetap ada di hati. Satu waktu
pernah kudapatkan semangat untuk tetap bersama FLP itu dari Kang Irfan. Bahwa FLP
hidup dengan tiga pilarnya; kepenulisan, keislaman, dan keorganisasian. Ketiganya
diupayakan seimbang, meski tak menampik keseimbangan itu begitu berat
diwujudkan oleh satu orang. Maka dari itulah aku ada, kita semua ada untuk
saling melengkapi. Satu orang sangat bagus pada keislamannya, satu orang pada
kepenulisannya, dan satu orang lainnya pada keorganisasiannya. Maka kita telah
berkelindan dengan FLP bersama semua potensi yang kita miliki. Tidak untuk
saling menjatuhkan atau mematikan, tetapi saling melengkapi, saling
menyempurnakan.
Kini, aku menapaki dunia
FLP-ku bersama keluarga di Jawa Timur. Meski demikian, tetaplah keluarga di
Yogyakarta punya tempatnya tersendiri. Memori demi memori akan terbentuk lagi dan
ada berjuta kisah yang lebih berkesan di Jawa Timur ini. Sungguh, FLP telah
mengajarkanku banyak hal. Aku; hanya satu bakti yang dapat kuberi. Forum
Lingkar Pena; berbakti, berkarya, berarti.
Angga Suprapto
![]() |
Silaturahim Nasional FLP 2008 |
![]() |
Sanggar Menulis Cahaya kerja sama dengan Perpustakaan Kota Yogyakarta |
![]() |
Pementasan "Sabita, The Hero Princess" |
![]() |
Suasana Forum Rutin di Sayap Selatan Balairung UGM. Tampak gazebo dengan payung biru. |
Komentar